Last Updated on July 7, 2017 by Tongkrongan Islami
Ada tiga cara pandang dalam membangun teori tentang negara. Pandangan: pertama, Sains Politik, yaitu memandang negara dengan mengkaji fungsi sebenarnya dari negara. Kedua, Filsafat Politik, yaitu melihat negara itu sebaiknya seperti apa. Ketiga, Teori Juristik yaitu pendekatan ahli-ahli hukum dalam melihat negara. pada sudut pandang teori yuristik ini, menyajikan tiga konsep mengenai hubungan negara dan hukum; Pertama negara lebih dahulu dari hukum, dan negara berhak menciptakan hukum. Kedua hukum mendahului negara dan negara harus tunduk dan patuh atas kekuatan hukum. Ketiga hukum dan negara itu sama, dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Teori pertama merupakan teori yang ditemukan oleh Jhon Austin, ia menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang berwenanng. Untuk itu, ia memberikan ukuran-ukuran praktis dalam bangunan teori itu; pertama harus ada masyarakat politik dengan jumlah yang cukup , kedua harus ada satu penguasa tertinggi yang paling dipatuhi.
Teori pertama ini, meski membawa manfaat tapi juga tidak lepas dari kritika, karena ukuran Jhon Austin dalam mendefenisikan istilah kekuasaan akan melahirkan banyak pengertian yang berselisih sehingga menimbulkan konflik. Teori yang lebih baik yang ditawarkan penulis lain sebagai solusi dari celah teori pertama ini yaitu; sebaiknya memakai konsep “premis dasar” yaitu dasar dari hukum adalah anggapan dasar yang diterima oleh masyarakat sebagai cara-cara dalam membuat hukum. Namun demikian, konsep ini juga tidak bisa menerangkan hakikat sesungguhnya dari hukum tersebut karena “premis dasar” pada masyarakat akan berbeda satu sama lain.
Disudut lain, teori kedua dalam pandangan beberapa penulis telah menemukan bentuk formalnya, karena pada hakikatnya kekuasaan memang menjadi kebutuhan moral, sebagaiman yang diungkapkan oleh pengikut aliran hegel, bahwa hukum merupakan moral tertinggi, di mana negara bisa menjadi alat dalam mewujudkan kebutuhan dan keinginan seseorang. Untuk itu negara harus bisa mencakup segala kebutuhan sosial.
Teori kedua, meyakini bahwa hukum lebih dahulu dan lebih penting dari negara, sehingga negara bisa diikat oleh hukum. Beberapa penulis memandang teori ini digunakan pada abaf pertengahan, dimana memang kekuasaan itu di atas hukum positif, namun kekuasaan ini dibatasi oleh hukum alam. Namun untuk mewujudkan teori atau konsep ini hanya bisa dilakukan dengan revolusi.
Dasar dari konep islam ini telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad semenjak masa kenabian lalu dilanjutkan oleh khulafa ar-Rasyidin, dasar negara tersebut berupa prinsip-prinsip seperti persamaan, kebebasan dan keadilan. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai ini masih terjaga hingga masa khulafa ar-Rasyidin meski problem-problem semakin kompleks, tapi tidak sampai merubahnya, hanya melahirkan cara-cara yang berfariasi dalam menyelesaikan masalah negara.
Meski demikian, konsep hukum islam ini tidak sampai di eropa lantaran di eropa telah memberlakukan sistem pemerintahan feodalisme dan monarki. pada saat revolusi Prancis, barulah ada jalan untuk menerima konsep islam di eropa. Perubahan yang paling nyata yang di bawa oleh konep islam adalah berakhirnya kerajaan dan teori hukum yang terkait dengan sistem monarki. nilai ini jelas terlihat dari pemilihan Abu Bakat, Umar, Utsman dan Ali menjadi Khalifah; bahwa tidak ada seorang pun atau keluarga manapun yang memiliki hak warisan dalam hal tahta dan khalifah.
Meski konsep hukum islam menyatakan bahwa kedaulatan milik tuhan, namun tidak berarti semua hukum dibuat oleh tuhan sendiri dan al-Qur’an telah menyediakan semua hukum. Melainkan semua hukum di negar islam telah dibuat oleh wakil-wakil rakyat berdasarkan petunjuk-petunjuk dasar yang terdapat dalam al-Qur’an, sehingga dapat dipahami bahwa rakyat tetap memiliki hak dalam penetapan hukum namun dibatasi oleh nilai-nilai universal yang terkandung dalam al-Qur’an, dalam artian rakyat bukan pencipta hukum, melainkan penjabar dan pelaksana hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
Sumber pokok yang menjadi ibu dari semua prinsip-prinsip dalam islam adalah al-Qur’an. Semua orang mukmin harus mempercayai bahwa al-Qur’an adalah sebuah wahyu Allah, sehingga tentunya lebih unggul dari hukum buatan manusia manapun, al-Qur’an harus dipandang sebagai dasar hakiki dan pondasi seluruh strukur dan bagian pokok dalam islam, bahkan harus juga dipercayai bahwa al-Qur’an adalah otoritas mutlak, sumber final semua diskusi yang berkatian dengan prinsip-prinsip hukum dalam islam.
Dalam al-Qur’an terdapat dua macam ayat, yaitu qath’i dan zhanni. Ayat dengan jenis kedua dimungkinkan ada interpretasi dalamnya, sedangkan ayat-ayat jenis pertama merupakan dasar al-Qur’an dan mengandung prinsip-prinsip dalam agama. Jadi, penafsiran apapun terhadap ayat jenis kedua, tidak akan mempengaruhi ayat-ayat jenis pertama.
Sumber kedua adalah sunnah, yaitu rekaman dari perbuatan, perkataan dan persetujuan dari Nabi, dalam pengertiannya sunnah lebih indentik pada historisitas nabi dalam arti isi, sedangkan hadis lebih menekankan pada segi periwayatan sunnah tersebut. Fungsi sunnah yang paling pokok adalah menjelaskan secara detail nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an sehingga bisa diaplikasikan, contohnya saja perincian sunnah dan zakat. Sehingga meski sunnah menjadi sumber kedua, namun pentingnya sunnah tidak kalah dibanding al-Qur’an.
Pentingnya sunnah atas perhatian muslim juga bisa dilihat dari pengabdian ulama-ulama terdahulu dalam mengumpulkan, menyusun dan menyeleksi sunnah yang bertebaran, untuk itu umat islam harus merujuk pad sunnah dengan mengetahui karya-karya ulam terdahulu dalam mengumpulkan sunnah, seperti kita shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Fiqih Siyasah yang diampu Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, Ma.